Cerpen;Kalung Ajaib


Cerpen ini buat tugas sekolah, awkwk, rada gagal mungkin


Mita memandangi sebuah foto dengan bingkai kayu yang sudah agak pudar. Sesekali terdengar isak tangisnya, berulang-ulang menyebut kata “Mama”. Ia merenung di atas kasur, merindukan ibu yang telah meninggalkannya tiga bulan yang lalu. Dengan mata yang mulai membengkak, ia melihat ke arah jam yang tergantung di dinding, sudah pukul 6 sore. Tiba-tiba terdengar suara telepon berdering, Mita menyeka pipinya yang basah, lalu turun dari kasur untuk mengangkat telepon.
“Halo”, katanya pelan.
“Assalamu’alaikum”, jawab suara di seberang.
“Wa’alaikum salam”, jawab Mita dengan sumringah begitu mendengar suara ayahnya.
“Mita baik kan di rumah?”,
“Alhamdulillah, baik kok yah!”,
“Sendiri di rumah sampai agak malam nanti gimana? Ayah baru bisa keluar jam 10”.
Mita terdiam, ia memandangi asap yang sedikit mengepul dari nasi goreng buatannya.
“Iya, hati-hati ya, yah”, kata Mita akhirnya dengan suara yang sedikit bergetar.
“Oke, hati-hati juga di rumah ya nak. Pintu jangan lupa dikunci ya. Assalamu’alaikum”, tutup telepon di seberang
“Wa’alaikum salam”.
Mita menghela nafas, lalu mulai melakukan rutinitas seperti biasanya.
Seorang pria berdiri di depan pintu sebuah rumah kecil, ia merogoh sakunya, mencari kunci pintu rumahnya itu. Begitu didapat, ia langsung memuatr kunci dan masuk ke dalam rumah. Ia lalu membuka tudung nasi yang berada diatas meja makan, dilihatnya sepiring nasi goreng yang sudah dingin. Ia hanya tersenyum simpul. “Kasihan Mita”, desahnya nanar. Pada pukul 11 malam itu, ia mengambil sebuah kotak yang tersimpan rapih di lemari. Ia membukanya sebentar, lalu menutupnya lagi dengan sedikit rasa puas. Lalu ia letakkan kotak itu diatas meja belajar Mita.
“Ayah, ayah! Sarapan udah siap nih!”, panggil Mita.
“Iya, nak. Sebentar”. “Loh? Nasi goreng lagi? Mita belum belajar bikin yang lain ya?”, kata ayahnya menggoda.
“Haha, udah sih yah. Tapi yang enak hasilnya ya baru nasi goreng ini”,
“Iya, iya. Cepet makannya nanti terlambat”. Mita mengangguk pelan sambil melahap makanan di piringnya. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi ia urungkan sampai ayahnya selesai makan.
“Yah, Mita mau nanya”,
“Apa nak?”
“Ayah yang taruh kalung almarhum mama diatas meja belajar Mita?”
“Iya”
“Kenapa ditaruh disitu?”
“Emangnya Mita gak mau?”
Mita bersemangat, “Itu buat Mita?”
“Ya iya, buat siapa lagi? Temen kantor ayah?”
“Ah, Ayah…”, kata Mita dengan cemberut.
“Haha, terserah Mita mau dipakai atau disimpen”
“Makasih ayah!”, dengan cepat ia mengambil piring kotor ayahnya dan mencuci piring. Selesai itu ia kembali ke kamar mengambil kalung mutiara milik almarhum ibunya itu untuk dipakai.
“Ayo yah, berangkat!”, pinta Mita begitu keluar kamar dengan semangat.
Mereka pun mengunci rumah dan berangkat dengan sepeda motor. Mita duduk di belakang ayahnya dengan semangat, ia memandangi kalung itu terus menerus.
Di sekolah, Mita memakai kalung itu. Ia sedikit terkesima, dengan begini ia akan selalu merasa mama menyertainya. Selesai waktu istirahat, pelajaran Biologi diadakan ulangan dadakan. Seperti biasa semua anak langsung panik, begitu pula dengan Mita. Apalagi semenjak kematian ibunya, nilainya menurun drastis, apalagi kalau tidak belajar. Mita memegangi mutiara pada kalungnya, ia menyemangati dirinya sendiri dalam hati, ia tak mau mama juga sedih kalau nilainya terus menerus jelek. Ibu Desi pun memberi waktu 15 menit untuk belajar, waktu itu digunakan sebaik-baiknya oleh Mita. Ia belajar dengan serius, sambil terus menerus meyakinkan dirinya bahwa ia pasti bisa menyelesaikan soal-soal nanti dengan mudah. Ibu Desi mulai membacakan soal, semua murid mendengarkannya dengan baik. Satu per satu soal dikerjakan Mita dengan sebaik-baiknya. Tangannnya menari-nari menggerakkan pulpen diatas kertas, ia menulis dengan cekatan walau terkadang berhenti ditengah untuk berpikir.
Mita memandangi teman-temannya yang berlarian pulang, ia memang baru 3 bulan di sekolah itu. Karena setelah kematian ibunya, Mita dipindahkan ke sekolah negeri. Sampai saat ini, Mita belum akrab dengan siapapun. Ia sudah mencoba untuk akrab dengan yang lainnya, namun selalu gagal. Kali ini ia harus bisa, tekadnya dalam hati. Mita memegang mutiara kalungnya lagi, “Aku pasti bisa berteman dengan yang lainnya, relakanlah aku untuk berkawan dengan mudah dengan yang lainnya, mama. Amiin!”. Mita melangkahkan kakinya ke dalam bus, lalu menghampiri seorang teman sekelas yang duduk di salah satu kursi, ia meminta diri untuk duduk pada bangku kosong yang ada disamping anak itu.
“Ya, silakan”, jawab anak itu sambil tersenyum. Mita memegang mutiara kalungnya lagi sambil duduk, lalu ia memberanikan diri untuk bicara.
“Hem… Besok ada PR ya?”
“Haha, itu pasti. Tadi kan pelajaran terakhir juga ada”, balas anak itu ramah.
“Haha, iya. Hemm… ngomong-ngomong, namamu Alfi kan?”,kata Mita mencoba mencari-cari topik pembicaraan.
“Ya, tapi aku biasa dipanggil Ani. Panggil aja aku begitu. Kita belum kenalan ya? Aku Ani.”, kata anak yang bernama Alfi Yahni itu tersenyum sambil menjulurkan tangannya.
“A, aku Mita”, Mita pun menyambut uluran tangan Ani dengan gembira.
“Ngomong-ngomong rumahmu dimana, Ani?”, kata Mita lagi dengan senyum merekah.
“Oh, di pertigaan nanti aku turun. Rumahku di sekitar situ.”
“Wah, kalau begitu gak begitu jauh dari rumahku dong. Pertigaan sana emang masih lurus, tapi gak begitu jauh baru turun.”
“Kalo begitu kapan-kapan aku bisa main kan?”
“Haha, tentu aja. Aku juga pasti akan main ke rumahmu”, kata Mita senang.
“Oh iya, Mita. Kamu pindahan dari mana?”
“Oh, aku dari SMP Pertiwi Jaya”
“Wah, jauh juga ya dari sini, kamu pindah rumah juga?”
“Enggak, aku memang dari umur lima tahun udah tinggal di pertigaan lurus sana”
“Wah kamu pilih sekolah jauh juga, ya.”
“Ya, rekomendasi dari tetanggaku. Katanya disitu bagus, terus almarhum ibuku setuju”
“Ma, mama kamu udah…?”, kata Ani sedikit kaget mendengar kata ‘Almarhum’.
“Ya, tiga bulan yang lalu”
“Tiga bulan yang lalu? Berarti begitu kejadian itu kamu langsung pindah kesini?”
“Ya begitulah”
“Wah, maaf Mita aku gak bermaksud mengingatkan kamu lagi”
“Enggak kok, yang penting aku ada kalung ini untuk mengingatkan aku sama mama”, ujar Mita sambil menunjukkan kalung barunya itu pada Ani, sahabat barunya.
“Tadi aku juga berani ngedeketin kamu, setelah memegang kalung ini. Seolah aku diberi kekuatan dan motivasi dari mama”, lanjut Mita.
“Wah, hebat juga. Kalung ini bagus, aku jadi pengin lihat wajah almarhum ibumu”
“Ya, makanya kapan-kapan main ke rumahku ya!”
“Oke, itu pasti. Wah, Mita makasih ya udah nemenin aku ngobrol. Udah mau sampe nih”
“Ya, Ani. Makasih juga sudah mau jadi teman pertamaku”, Ani tersenyum lebar mendengar kata-kata Mita itu, ia lalu bergeser turun untuk keluar dari dalam bus. Begitu tiba di luar, ia melambaikan tangannya ke arah Mita yang melihatnya dari jendela. Begitu pun Mita, membalasnya dengan sumringah, mendapatkan teman baru sungguh sangat menyenangkan. Ia tak sabar untuk kemabali ke sekolah besok.
Keesokan harinya, Mita kembali memakai kalung itu, ia bersemangat sekali untuk kembali ke sekolah. Begitu sampai di bangkunya, ia melemparkan tas dan menunggu kedatangan Ani di depan gerbang sekolah. Begitu melihat Mita yang ternyata sedang menunggunya, Ani pun merasa tersanjung dibuatnya.
“Wah, Mita sampe nunggu disini segala”, ucapnya ramah.
“Haha, selama ini aku juga bosen sendirian. Makanya aku seneng Ani mau temenan sama aku”
“Ya pasti mau lah. Nanti kita juga main sama yang lainnya, pasti mereka seneng. Mita kan menyendiri terus, jadi pada mikir kamu sombong”
“Wah, jadi begitu ya? Maaf deh”
“Udah, gak usah dipikirin, sekarang ayo kita ke kelas”, ajak Ani sambil menarik lengan Mita.
“Hei, Ani!”, sapa seseorang begitu melihat kedatangan Ani di kelas.
“Hai juga, Winda”
“Hai, Mi..Mita”, kata anak bernama Winda itu ragu-ragu
Mita mencengkeram mutiara di dadanya itu, “Iya, Winda”, jawabnya sambil tersenyum. Perkembangan yang bagus, pikirnya dalam hati. Mita duduk ke bangkunya yang berada di paling belakang, ia duduk sendiri. Sedang Ani duduk bersama anak bernama Winda tadi, masih di barisan yang sama namun berada jauh 3 bangku ke depan. Ani mengajak Winda untuk menghampiri Mita di bangkunya.
“Rumah Winda juga gak begitu jauh loh dari rumah kita. Nanti kita pulang bareng. Iya kan, Winda?”, kata Ani sambil memandangi Winda yang masih ragu-ragu.
“I, iya”, jawab Winda pendek.
“Maaf kalau selama ini aku tidak bergaul sama kalian, aku Mita”, kata Mita mencoba berani dengan mengulurkan tangannya.
Winda terlihat kaget sekaligus senang, “Iya, aku Winda”, sambutnya sambil tersenyum. Percakapan mereka bertiga pun terhenti sampai disitu karena terdengar bel berbunyi tanda pelajaran akan dimulai. Winda dan Ani cepat-cepat pamit ke Mita dan kembali ke bangku mereka. Sesaat kemudian Ibu Desi masuk.
“Anak-anak, ini hasil ulangan kalian kemarin”, semua murid bersorak riang.
“Udah dikoreksi bu?”, tanya seorang murid laki-laki bernama Arif.
“Iya, sudah. Ibu panggil namanya satu-satu seperti biasa. Kalian jangan berisik ya”
“Baik bu!”, seru para murid kompak.
“Abdul Hermanto”, seorang anak berkacamata maju ke depan menghampiri meja Ibu Desi. Ia mengambil kertas yang disodorkan kepadanya, Anak-anak yang lain bertanya begitu sekembalinya ia mengambil kertas ulangan itu. Dilihat dari isyaratnya, Mita mengetahui nilai anak yang terlihat pintar itu, 90.
“Alfi Yahni”, panggil Ibu Desi lagi.
“I..iya bu”, Ani dengan segera maju ke depan. Mita berbisik-bisik menanyakan nilainya. Ani mendapat nilai 80.
“Arif Barahulu, Bagas Kuntara, Deni Gagasta, Dian Rahmawati”, Ibu Desi memanggil muridnya satu persatu hingga tiba giliran Mita, “Mita Kania Putri”. Mita maju ke depan dengan was-was.
“Selamat ya, semoga kamu tetap bisa mempertahankan nilai ini”, Mita terbelalak ketika melihat lembar ulangannya. Betapa tidak, nilainya 97. Ini diluar dugaan. Ia mendapat nilai hampir sempurna di saat ujian dadakan. Ia mengangguk pelan sambil tersenyum lalu kembali ke tempatnya. Ani mencegatnya sambil menanyakan nilai Mita.
“Alhamdulillah, ni. Nilaiku bagus”, ucapnya bahagia. Ani dan Winda yang mengetahui hal itu pun ikut senang. Namun, Mita berujar bingung dalam hati, “Apa mama yang bantu semua ini?” katanya sambil ,memegangi kalung mutiara milik almarhum ibunya itu.
Hari berganti hari, Mita selalu mengandalkan kalung mutiara itu, setiap melakukan sesuatu ia selalu mencengkeram mutiara itu sambil mengucapkan berbagai macam kata. Perlahan-lahan Mita sudah cukup mengenal semua teman sekelasnya, bukan Ani dan Winda saja. Prestasi Mita pun meningkat drastis, hampir di semua pelajaran, termasuk praktek seperti berpidato, puisi, menari ataupun bahkan berolahraga. Ayahnya sangat bangga saat mengetahui kenaikan prestasi Mita. Ani dan Winda tentu saja tetap menjadi sahabat Mita, murid yang lain pun senang pada Mita karena dia ramah dan juga tidak sombong.
“Wah, nilaimu bagus terus Mit, aku ngiri. Hahaha”, kata Winda begitu menerima lembar ulangannya.
“Haha, enggak juga kok. Kalian pasti juga bisa”
“Hari ini kami ke rumahmu deh, belajar bareng gimana? PR dari Pak Darto tadi susah, aku gak ngerti. Ajarin gak keberatan kan?’, kata Ani sumringah.
“Jelas enggaklah”, jawab Mita sambil merangkul kedua temannya itu.
“Asik deh, kalian main lagi. Tapi, lagipula ini semua karena kalung almarhum mamaku ini”, lanjut Mita sambil menggenggam kalung di lehernya itu.
“Oh, yang pernah kamu cerita itu ya Mit?”, tanya Ani.
“Wah, wah soal kalung aku belom diceritain nih, hahaha”, canda Winda terkikik.
“Jadi begini, ayah waktu itu kasih aku kalung yang dulu selalu dipakai almarhum mamaku. Mungkin karena ayah tau, aku selalu kangen sama mama”
“Terus?”, desak Winda penasaran.
“Ya, setiap aku mau melakukan sesuatu aku selalu memegang mutiara kalung ini sambil berdo’a. Seolah-olah memberiku kekuatan, kalung ajaib ini, seperti mama yang selalu menyemangatiku”, cerita Mita penuh senyum.
“Haha, asyik kan, kalung ajaib”, kata Winda lagi bergurau.
“Tapi kamu juga selalu pakai kalung ini tiap saat? Gak pernah dilepas?”, tanya Ani yang melihat kalung itu masih terawat bagus.
“Ya, kalau mandi biasanya kulepas”, jawab Mita singkat. Mereka bertiga pun bergegas kembali ke bangku masing-masing karena guru mata pelajaran berikutnya sudah datang.
“Oh, jadi kalau olahraga besok bisa kali ya?”, gumam seseorang yang menguping pembicaraan Ani, Winda dan Mita tadi.
Winda dan Ani memandang rumah kecil Mita yang terlihat sangat sepi.
“Kamu Cuma tinggal dengan ayahmu”, tanya Ani.
“Ya, sejak kematian mama. Rumahku semakin sepi. Apalagi dulu mama itu penulis lepas, jadi sering ajak aku jalan untuk cari referensi”
“Maaf ya ngungkit-ngungkit, Mit. Tapi mama kamu meninggal karena…”, tanya Winda hati-hati.
“Hahaha, santai aja lagi, Win. Iya, mama sakit jantung”
“Oh”, ucap Ani dan Winda berbarengan.
“Tapi bagusnya, dengan begini aku bisa jadi mandiri mesipun aku anak tunggal. Aku bisa beres-beres rumah, semuanya. Bahkan aku juga bisa masak loh, kalian tinggal sebut apa aja untuk makan kali ini. Pasti kubuatin deh, hahaha”, celetuk Mita bergurau, seolah menutupi kesedihannya.
“Bener ya? Aku mau rendang deh”, tantang Winda.
Mita tercekat, “Eh?”.
“Enggak susah deh aku mintanya, cukup ati ampela aja”, tambah Ani terkekeh. Mita menelan ludah sambil melotot, mereka pun terus bergurau sampai akhirnya belajar dan lalu makan. “Otak bekerja lebih baik saat perut kosong”, celetuk Winda mencontek dari buku bacaan kesukaannya.
Keesokan hari seusai pelajaran olahraga, Mita termenung sedih di bangkunya. Meski Ani dan juga Winda sudah membantunya untuk mencari kalung mutiara peninggalan ibunya itu, namun belum juga ditemukan. Anak-anak yang berada di ruang ganti baju dimana kalung itu hilang pun sudah ditanyai, dan hasilnya juga nihil.
“Mita, sabar ya. Nanti pas istirahat kita cari lagi ya”, kata Ani menenangkan.
“Kamu inget ditaruh dimana?”, Tanya Winda.
“Aku inget banget, aku taruh diatas bangku yang gak jauh ada baju gantiku. Aku lepas sebentar karena keringetan. Tapi begitu aku liat lagi gak ada”, cerita Mita sambil mau menangis.
“Udah ya, tenang dulu. Kita pasti bantu, pasti ketemu deh”, kata Ani lagi menenangkan.
“Ya, ya. Pasti ketemu, sekarang kita serius pelajaran Pak Karso aja, mau ulangan nih. Kami tinggal ya, Mit”, pamit Winda yang diikuti anggukan kecil dari Mita.
Mita benar-benar tidak bisa konsentrasi di ulangan Bahasa Inggris kali ini, padahal semalaman ia sudah belajar. Tanpa kalung ajaib itu, ia benar-benar seolah telah kehilangan kekuatannya, dan juga kecerdasannya. Tangannya menari-nari lemas dan kaku saat menggerakkan pulpen diatas kertas. Hatinya benar-benar sendu saat itu. Ia tak sabar ingin cepat-cepat istirahat, ia ingin segera menemukan kalung ajaibnya, sumber kekuatannya dari mama.
Begitu istirahat tiba, Mita diiringi Ani dan Winda dengan cepat mencari-cari kalungnya itu. Di lapangan, ruang ganti baju, kelas, bahkan lorong yang sempat mereka lewati sebelumnya juga sudah ikut diperiksa. Namun hasilnya tetap saja nihil. Alhasil pekerjaan sekolah Mita satu per satu mulai menurun, para guru mulai khawatir akan penurunan nilainya, begitu pula Winda dan Ani.
“Jadi kalung itu ajaib beneran ya, Mit?”, kata Winda prihatin. Sudah 2 hari Mita kehilangan kalungnya.
“Ya, nilaiku pun turun semua, seperti sedia kala sebelum aku pakai kalung itu”, kata Mita dengan mata nanar.
“Jangan begitu dong, Mit. Itu kan karena kamu sedih jadi gak bisa konsentrasi”, kata Ani mencoba menyemangatkan Mita.
“Kehilangan kalung itu seperti kehilangan mama untuk yang kedua kalinya”, gumam Mita sedih.
“Sabar ya, Mit. Kamu harus tetep semangat!”, pacu Winda menyemangati.
Sedangkan seseorang yang tak jauh dari mereka saat itu tersenyum licik melihat kesedihan Mita. Ia meletakkan tangan diatas dadanya, menyentuh mutiara yang tersembunyi dibalik bajunya.
“Ternyata bener ajaib ya? Haha, maaf Mit. Besok kalung ajaibmu ini kucoba dan mulai sekarang jadi milikku”, gumam anak yang sendirian di bangkunya itu sambil terkekeh-kekeh.
Keesokan harinya, Bu Indah, guru Fisika mengadakan ulangan Bab 3. Semua murid kelas 8-2 saling berbisik-bisik memohon kerjasamanya. Sedangkan seseorang dengan penuh rasa percaya dirinya memandang kelas itu dengan angkuh.
“Aku akan mendapatkan nilai terbaik kali ini, terimakasih Mita”, ucapnya angkuh dalam hati. Ia lalu memegangi mutiara yang berada dibalik bajunya itu, ia berpikir akan mendapatkan nilai 90 keatas yang biasa didapatkan Mita. Anak itu bahkan tidak belajar sebelumnya, alhasil kini ia tampak kesusahan mengerjakan soal demi soal. Tiada satupun rumus yang di hafal, otaknya seolah-olah kosong. Tapi ia tetap tidak khawatir. Ia pikir lambat laun toh kertas itu pasti nanti terisi penuh. Waktu ulangan selesai kurang lebih 5 menit lagi, tapi kertas anak itu baru terisi kurang dari setengahnya. Ia kelimpungan setengah mati, ia berusaha mati-matian mencontek pada teman-teman yang lainnya. Berkali-kali ia sempat mendapat pelototan dari Bu Indah. Hingga akhirnya waktu mengerjakan soal ulangan habis, anak itu hanya bisa berpasrah diri. Usahanya mencontek tidak begitu sia-sia, setidaknya kertas ulangannya kini sudah tidak sekosong tadi, hampir penuh. Anak perempuan itu tersenyum penuh kemenangan. Lalu memberikan kertas ulangan tadi kepada Bu Indah sambil tersenyum senang. Ia sempat menggenggam mutiara itu lagi sebelumnya. Ia merasa sangat yakin akan mendapatkan nilai bagus kali ini.
“Abdul Hermanto”, panggil Ibu Indah untuk membagikan nilai ulangan pada keesokan harinya. Suasana kelas menjadi agak ribut, sibuk menebak nilai masing-masing.
“Alfi Yahni, Arif Barahulu, Bagas Kuntara, Deni Gagasta”, panggil Ibu Indah lagi satu per satu. Hingga tiba pada nama Mita yang langsung maju ke depan. Kali ini ia sumringah, nilainya kembali, 95. Bu Indah tak lupa memberikan senyuman pada Mita. Mita kembali ke bangku dengan sangat bahagia, ia juga sempat tersenyum kepada seorang anak lelaki yang menatapnya dengan puas. Sedang anak pengambil kalung mutiara tanpa izin milik Mita itu terheran-heran mengetahui nilai Mita yang melonjak naik.
“Selvia Rahma”, panggil Ibu Indah. Anak itu maju ke depan sambil mengulum senyum. Ia yakin bisa mendapat nilai yang lebih baik dari Mita.
“Selvi, kamu lain kali harus belajar dulu ya, jangan santai terus. Ini sudah untuk keberapa kalinya kamu mendapat nilai jauh dibawah KKM? Kasihan teman-temanmu yang lain, rata-rata kelasnya menjadi turun. Belajar lebih rajin, kalau perlu bantuan ibu, kamu bilang saja”
Selvi tersenyum kecut, “Iya bu” jawabnya sambil sambil mengambil kertas ulangannya. Dan betapa kagetnya ia melihat angka bebek disana, 20. Selvi marah luar biasa, bagaimana bisa Mita mendapat nilai tinggi lagi sedangkan kalungnya ada di dia, dan malahan nilainyalah yang semakin turun, begitulah keluh kesahnya di dalam hati. Tiba-tiba Selvi yang bermuka masam itu bertemu pandang dengan Mita, awalnya Mita hanya diam tapi akhirnya ia langsung tersenyum lebar pada Selvi. Selvi jelas mengartikan itu sebagai sebuah ejekan. Ia tercekat, jangan-jangan Mita memang sudah tahu kalau kalungnya itu dia yang mengambil. Selvi yang kesal tiba-tiba menjadi pucat, ia takut kalau Mita akan melaporkannya ke guru atas tindakan tidak terpuji yang telah ia lakukan. Mita lalu menghampiri Selvi yang tengah ketakutan itu.
“Selvi”, panggilnya.
Selvi diam, tidak menjawab. Ia hanya mendongakkan kepalanya sedikit untuk melihat Mita, ia takut dilaporkan.
“Kapan-kapan kita belajar bareng ya. Kekuatan hati itu lebih besar daripada kekuatan otak loh”, celetuk Mita misterius. Selvi hanya bisa mengangguk-angguk kecil. Mita yang juga tidak suka dengan suasana keruh seperti itu pun langsung kembali lagi ke bangkunya.
Sepulang sekolah itu, seperti biasa Mita, Ani dan Winda pulang bersama naik bus.
“Cie kan Mita, nilaimu naik lagi, selamat ya!”, ucap Ani member selamat.
“Jangan-jangan kalungmu udah ketemu ya?”, tanya Winda bergurau.
“Haha, ya begitulah”
“Eh? Udah ketemu?”
“Kapan? Kapan? Dimana?”
“Duh, kalian ini, gak enak dong berisik-berisik sendiri di bus kayak gini. Haha, belom sih tapi mungkin bentar lagi”
“Eh? Tau darimana? Maksudmu apa sih Mit?”, Mita mulai mengenang, kemarin saat jam istirahat, ia sendirian ke perpustakaan, sedangkan Winda dan Ani lebih memilih jajan di kantin. Disana ia bertemu dengan Arif, teman sekelasnya. Arif bercerita bahwa waktu itu, saat olahraga selesai, Selvi adalah murid perempuan pertama yang masuk kelas selesai olahraga. Ia melihat Selvi menggenggam sebuah kalung mutiara yang biasa ia lihat dipakai Mita. Arif sempat mendengar pembicaraan Ani, Winda dan Mita mengenai hilangnya kalung yang katanya ajaib itu, tadinya ia mau meberitahukan keberadaan kalung yang dibilang hilang itu kepada Mita secara sembunyi-sembunyi karena tidak ingin mempermalukan Selvi, tapi tidak jadi karena hendak memberi pelajaran pada Mita dan Selvi soal kepercayaan kepada keajaiban pada kalung itu. Mita dan Arif berbincang banyak di perpustakaan, Mita juga bercerita soal almarhum mamanya dan juga kalung peninggalannya itu. Arif bilang bahwa itu bukanlah karena kalung ajaib, tapi karena keinginan kuat pada hati Mita. Justru kekuatan hati itulah jauh lebih berpengaruhnya daripada kekuatan otak. Arif berceloteh panjang menjelaskan itu pada Mita. Mita hanya bisa tersenyum malu dan berterimakasih banyak pada Arif. Mita pun berjanji akan membuktikan hal itu pada ulangan keesokan harinya.
“Mit? Mit?”, panggil Winda lagi membuyarkan lamunan Mita.
“Ah, t..tadi k..kalian nanya apa?”, kata Mita agak tergagap.
“Duh, si Mita… Kita tuh gak ngerti maksud kamu. Katanya mungkin bentar lagi ketemu, tau darimana?”
“Hem, besok atau lusa deh baru kuceritain. Wah, ni. Kamu turun bentar lagi tuh”, kata Mita mengalihkan.
“Yah, ketinggalan deh. Pokoknya besok aja ceritanya biar adil”, kata Ani yang tak mau ketinggalan.
“Iya deh”, Mereka pun tertawa bersama setelah akhirnya Ani pamit untuk turun dari bus duluan.
Keesokan harinya di sekolah, Mita duduk di bangkunya, ia datang agak siang hari itu. Kelas sudah mulai sesak. Dapat juga ia lihat wajah Selvi yang ketakutan tiap kali melihatnya. Mita merogoh isi laci mejanya, tangannya menyentuh permukaan bola kaca yang licin yang ternyata adalah kalung mutiara miliknya itu ketika ditarik keluar. Ia langsung tersenyum senang. Mita melihat Arif menengok ke arahnya, ia pun langsung mengacungkan kalung itu sambil mengucapkan terimakasih banyak dan tersenyum. Saat istirahat, Winda dan Ani menanyakan perihal kembalinya kalung itu secara tiba-tiba dileher Mita, seperti apa kata Mita sebelumnya “mungkin sebentar lagi” dan itu sudah terbukti. Mita menjelaskannya dengan singkat, saat itu kebetulan Selvi tak jauh dari mereka, ia bisa mendengarkan dengan cukup jelas.
“Waktu itu keselip di bajuku”
“Lah? Kan kamu pake, jatoh dong harusnya”
“Bukan, bukan. Kebawa di baju olahragaku. Terus kutaruh di plastik. Begitu nyadar kalungku enggak ada, aku buru-buru jadi plastiknya terbalik waktu kumasukkin ke tas. Nah, mungkin di tas kalung itu jatoh dan keselip di buku. Bodohnya, aku gak periksa tas sama sekali.”, jelas Mita mengarang cerita sambil tersenyum aneh.
“Ah, begitu ya? Walau aku bingung, ngerti-ngerti aja deh”,
“Yang penting sekarang udah ketemu”, kata Ani maklum.
“Iya”, kata Mita lagi sambil tersenyum. Ia menatap Selvi yang menguping pembicaraan mereka. Selvi pun langsung memalingkan wajahnya, malu ketahuan menguping. Ia menengok ke arah Mita lagi, dan dilihatnya Mita tersenyum ramah. Ia balas tersenyum dengan agak ragu, dan dengan menundukkan wajahnya sedikit, ia berkata “Maaf”. Mita langsung mengangguk senang dan Selvi pun jadi tersenyum lebar karenanya.
“Jadi, kalung ini gak ajaib dong”, kata Winda kecewa begitu duduk di kursi bus.
“Ya enggaklah, itu semua sebenernya karena kekuatan hati. Kalung ini cuma seperti media motivator dari mama”, kata Mita mengutip kata-kata Arif sebelumnya.
“Wah, bahasanya tinggi banget. Sampe gak ngerti nih maksudnya”, kata Winda terkikik, mereka pun tertawa bersama. Mita memandang ke arah jendela dimana terlihat sekolah mereka, lalu ia mendongak menatap langit yang cerah di sore hari itu. Seraya tersenyum, ia menggumam dalam hati.
“Terimakasih, Ya Rabb. Terimakasih, Mama, Papa. Terimakasih, teman-teman. Aku mendapatkan pelajaran baru. Semoga kelak aku bisa menuliskan kisah ini, untuk kalian semua.” Mita mengepalkan tangan ke dadanya, menghela nafas dan tersenyum puas.
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Korean Reality Show "The Devil's Plan 2"

SELADA (8.2 SMPN 9 Bekasi)