Cerita;Tanpa akhir
ini lagi iseng-iseng buat cerita nyolot, hahahaha.
“Baik, tugas kelompok kali ini buat satu kelompok yang terdiri atas 3 sampai 4 orang ya!”, serentak anak-anak di kelasku mulai gaduh, berteriak sana-sini menentukan kelompok. Bagaimana denganku? Ya, seperti biasanya saja.
“Sudah buat kelompok semua? Coba saling berkumpul!”, perintah guru itu lagi. Semua anak mulai berkerumun hingga terlihat telah berkelompok - kecuali aku. “Tania?”, panggil guruku. Aku hanya memandangi guru itu sebentar, “Mana kelompokmu?”, aku terhenyak bingung, mana kutahu kelompokku yang mana, tak ada yang mengajakku. Aku dapat melihat guru itu menghembuskan nafas panjang yang suaranya cukup terdengar jelas. “Sekelompok dengan Rita saja, disini”, guruku itu menunjuk seorang gadis berambut hitam kelam yang dikuncir kuda, namanya Rita. Kulihat dua orang disampingnya, Kori dan Denia. Well, tentu aku tau nama mereka. Dapat kulihat sedikit guratan kekagetan di wajah mereka bertiga. Fuuh, seperti biasanya. Aku bisa menebak pikiran mereka, “Satu kelompok dengan si pendiam itu? MEREPOTKAN!”, ya begitu mungkin. Tak enak dengan guru yang sudah mulai tua dan harus menghadapi murid menyusahkan seperti aku ini, aku pun langsung maju dan duduk diantara mereka, aneh rasanya. “Ya sudah, bapak selesai dulu. Silakan diskusikan tugas kalian”, lalu guru itu membereskan semua perabotannya dan langsung pergi menuju pintu, ia sempat mengucapkan salam yang hanya dijawab beberapa anak saja.
“Jadi, kita mau buat alat apa untuk percobaan kali ini”, kata Kori yang potongan rambutnya pendek seperti anak lelaki.
“Gatau, bingung ah!”, gerutu seseorang disampinya, Denia.
“Apa yaaa…….”, Rita memandangiku sebentar, lalu ia berkata, “Menurutmu apa, Tania?”, Aku menghela nafas. Aku lebih memilih sendirian dimejaku sambil mencoret-coret kertas dibandingkan memikirkan tugas ini. Melihat kediamanku Rita hendak berkata lagi, tapi aku langsung memotongnya, “Roket?”, usulku singkat dan pelan. Ya aku hanya asal menyebut saja. Mereka bertiga tampak kaget lalu berpikir lama.
“Toooooootttttttttttt!”, bel rusak di kelasku itu berbunyi nyaring, mengagetkan anak-anak sekelas yang langsung diiringi larian keluar kelas.
“Kamu ke kantin gak, tan? Biar sekaligus diomongin di kantin aja”, ajak Kori berusaha ramah padaku.
“Ya”, lalu kuikuti langkah mereka dari belakang. Aku diam saja selama berjalan, enggan menanggapi walau mereka sudah saling bercerita panjang lebar tentang hal-hal lainnya.
Sesampainya di kantin, kami duduk dulu di di atas bangku panjang yang tersedia. Mereka masih membicarakan topik yang mereka bahas sebelumnya saat berjalan dari kelas tadi. Aku hanya duduk terdiam, sampai Rita berkata, “Kenapa roket, tan?”, aku terdiam sebentar, “Yang terlintas di otak aja”, jawabku sekenanya. Namun mereka langsung tertawa terbahak-bahak. Alhasil, aku hanya tersenyum kecil. Sudah lama aku tidak merasakan suasana hangat seperti ini, sejak hari itu.
“Ah, mikirinnya sambil makan deh, nanti keburu istirahat selesai!”, kata Denia kesal. Kori dan Rita hanya tertawa-tawa kecil, kami - mungkin aku tidak termasuk tapi cuma ikutan – langsung memesan makanan. Ketika makan, ketiganya enggan membicarakan tugas kelompok itu, mereka lebih memilih topik-topik menyenangkan yang sedang terjadi di sekitar mereka. Aku sempat tertawa-tawa kecil mendengarkan celetukan canda mereka, tapi setelah melihat sosok bayangan yang sangat familiar buatku di ujung lapangan
Kelas kembali dimulai. Dan aku? Sendirian disini. Meja yang ada di depanku ini panjangnya memang untuk 2 anak, tapi kursi disampingku kosong. Ya, karena sejak kedatanganku murid kelas ini menjadi ganjil. Toh mereka tak peduli padaku, mungkin namaku juga hanya menuh-menuhin di absen kelas ini. Kehadiranku hanya mengganggu pemandangan dan keceriaan kelas ini. Pindah sekolah di pertengahan semester itu memang tidak enak. Apalagi kalau baru kelas satu. Aku pun menyimak pelajaran yang diterangkan oleh guru Sejarah. Ya, hanya itu yang bias kulakukan. Apalagi? Tapi kenapa rasanya aku sudah selalu menyimak pelajaran yang diterangkan oleh guru-guru tapi nilaiku juga tak kunjung bagus, ya mungkin aku memang tidak beruntung.
Aku mencondongkan tubuhku kedepan, yang akhirnya kurebahkan kepalaku diatas meja. Capek rasanya, lama-lama aku bosan tidak pernah ada yang mengajakku berbicara sedikitpun, ya aku juga malas berusaha sih, tidak PD. Tiba-tiba pikiranku melayang ke hari itu, dimana seorang anak perempuan mengajakku berkenalan. MAsih kuingat senyum manisnya, tapi kalo mengingat itu rasanya aku tambah muak saja. Tapi toh aku senang juga karena ada yang sempat perhatian padaku. Aku hanya tersenyum kecil, lalu menegakkan tubuhku untuk memperhatikan cerita guru sejarah itu tentang masa lampau para pahlawan dalam menghadapi masa perang. Haruskah aku seperti guru sejarah itu? Menceritakan masa lalu indah ku yang singkat? Kurasa tidak perlu, tidak penting. Tak ada yang akan peduli ini padaku.
Lalu, bagaimana kehidupanku nanti selanjutnya? Aku juga tidak tahu, tidak peduli deh, masa bodoh saja. Urusan sosialisasi? Aku sudah tidak percaya lagi pada siapapun. Mungkin aku memang sudah ditakdirkan untuk hidup sendirian. Hukum mahluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain mungkin tidak berlaku penuh terhadapku. Yang menjadi pelarianku pun hanya dunia maya, bersosial di dunia maya. Aku hanya bertukar pikiran mengenai masalah mereka disana – bukan masalahku.
Lalu bagaimana dengan tugasku? Ya, sebenarnya aku malas bercerita tapi sebagai ungkapan terimakasih karena sudah mau membaca hal ini dan untuk membesarkan hati kalian akan kuceritakan secara singkat dan jelas saja. Kami membuat roket yang cuma bisa terbang sekali dengan menempuh jarak ke atas kurang dari 1 meter. Hebat bukan? Well, hidupku memang menyedihkan.
Komentar
Posting Komentar