Cerbung (4)
udah lama banget gak ngelanjutin cerbung ini, dan hasilnya.. ya cuma dapet sedikit sih.. ada yang mau nyumbang ide? :O haha oke selamat membaca
POV: Muhammad Zarfan
Kakiku tiba-tiba kram, kulihat kakak itu sudah keluar. Dan bapak itu, dengan senang hati membimbingku ke sebuah kursi. Melihatku tidak berontak sedikit pun, bapak itu mengurungkan niatnya mengikatku dengan tali. Beliau membantuku memijit-mijit kakiku yang terasa kaku. Hei, bukankah di terlalu baik untuk orang yang yang telah mengikat kakak tadi? Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kalau ternyata dia ternyata orang baik dan kakak tadi yang jahat, berarti betapa bodohnya aku. Tapi, bagaimana ceritanya? Aku pusing sendiri. Dasar si Aini, dia salah liat rumah. Ternyata yang dimasukinya tadi gubuk yang terlihat dibawah rumah yang dimaksud, dia pasti salah lihat karena kita ada diatas melewati jalanan menurun. Bisa-bisanya dia teledor seperti biasanya dan malah aku yang kena. Ya sejujurnya, aku memang ingat motor yang ditunjuk Aini tadi, dan gak sengaja melihatnya didepan rumah ini, dan… ya aku masuk ke rumah ini dan langsung kaget mendapati ada orang yang diikat. Bapak itu menanyakan keadaanku, aku menjawab bahwa aku baik-baik saja. Beliau menanyakan lagi perihal kedatanganku, maka kujawab saja dengan jujur bahwa temanku melihat bahwa bapak itu menodongkan pisau ke pengendara motor yang ternyata seorang perempuan itu. Bapak itu sedikit kaget mendengar kata teman namun langsung berwajah ramah. Aku jadi lega, bapak itu lalu memintaku menunggu sebentar di kursi itu lalu masuk ke sebuah ruangan.
POV: Nuraini Maghfira
Kakiku rasanya sudah tidak kuat lagi untuk terus mendaki jalanan ini, menyesal sekali rasanya tadi sudah sok tahu. Aduh, tidak ada alat komunikasi juga. Bagaimana ini? Aku cuma bisa gelisah tanpa henti, siapa yang bisa kumintai tolong? Ini gawat, semakin kucoba mempercepat lariku tetapi kakiku makin terasa nyut-nyutan. Aku tak berani berhenti, karena aku yakin kalau aku berhenti aku bisa langsung terjatuh atau bahkan tak bisa berjalan lagi. Pikiranku pusing, kalut. Aku terus mencoba memfokuskan pikiranku ke satu hal: Aku harus terus berlari. Aku terus memaksakan kedua kakiku untuk melangkah, satu per satu secara teratur sambil menahan rasa sakit yang makin menjadi-jadi. Aku hendak menangis sekencang-kencangnya di jalanan yang sepi ini, aku mau minta maaf pada Zarfan. Aku terus menerus berharap bisa melihat roda sepeda Zarfan diujung jalanan sana , dengan pengendaranya yang tersenyum kecut melihat kedatanganku yang berlari-lari. Kubayangkan ia menanyakan apakah aku sudah berhasil menyelamatkan sesuatu yang katanya menyangkut hidup mati umat manusia itu, lalu aku akan menjawab ada satu misi lain yang lebih penting dan langsung menyuruhnya mengayuh sepeda ke rumah secepat ia bisa karena ia bisa terlambat membantu ibunya. Kubayangkan Zarfan akan terheran-heran, menanyakan ada apa di dalam gubuk itu padaku sepanjang perjalanan. Namun nyatanya aku hanya bisa tersenyum pedih, Zarfan…… aku ingin sekali bertemu denganmu. Aku minta maaf, huh. Rasanya bodoh sekali aku menginginkan keberadaannya setelah sekian lama ini terus bertengkar dengannya. Tapi percuma, aku hanya bisa membayangkan dan tidak menjadi kenyataan. Kurasa kakiku sudah benar-benar tidak kuat lagi, bukan, bukan Cuma kakiku, hatiku sudah lemah, semangatku mulai padam. Kepalaku pusing, dapat kurasakan badanku lungsur ke tanah.
#BERSAMBUNG
sampai sekarang belum ada judulnya nih, haha
Komentar
Posting Komentar