Cerbung (2)
POV:Muhammad Zarfan
POV:Nuraini Maghfira
POV:Muhammad Zarfan
POV:Nuraini Maghfira
POV:Muhammad Zarfan
POV:Cita Zauhari
Uh, untung ini turunan, jadi aku tak terlalu kelelahan untuk mengayuh sepeda lebih cepat. Apa-apan sih si Aini? Dia lupa apa dengan yang baru saja kubilang, aku mau bantu ibuku. Tapi mau gimana lagi? Kayaknya dia sangat ketakutan, entah apa yang dilihatnya dari motor tadi.
“Ain, ke rumah aja ya”, kataku akhirnya setelah mulai lelah “ENGGAAAK!!!”, teriaknya “Ayo cepet semangat!! Kayaknya motor itu mau berhenti di gubuk sana ” , Aini menunjuk sebuah gubuk yang terlihat dari kejauhan.
Aku cuma bisa menurutinya, ya… kalau tidak aku yakin dia akan memukuliku. Setelah jarak kami hampir dekat dengan gubuk itu, tinggal belok saja, Aini memintaku menaruh sepeda dan dengan asyiknya ia menyuruhku menunggu disini sambil melangkah turun dari sepeda.
Aku langsung tercengang, “Aini, k..”, baru selangkah ia berjalan ia langsung terjatuh. “Banyak gaya sih, mau jalan kesana? Kaki tuh..”, kataku sambil memandangi kakinya yang kelihatan berwarna biru.
“Hehehe, lupa.. terus gimana dong?”, Aini hanya cengengesan, duh bikin repot aja, terus apa gunanya ngejar motor itu sampai sebegini jauhnya…..
POV:Nuraini Maghfira
Padahal aku sudah semangat ’45 untuk menyambut misi baru yang pasti menegangkan ini, sampai lupa kalo kakiku masih belum sembuh benar. Aduuh, terus gimana ini. Aku berharap Zarfan mau mengecek gubuk itu, ayolah.. tawarkan dirimu Zarfan. “Emangnya ngapain mau ke gubuk itu? Kenapa sih sama motor itu?”. Aku pun langsung menjawab sekenanya dengan menggebu-gebu, “Keadilan, Zarfan. KEADILAN! Hukum harus ditegakkan, kita harus membantu orang yang kesusahan, mencegah tindak kriminalitas”.
Zarfan menyengitkan dahinya, apa dia tidak melihat pisau tadi? Orang didalam gubuk sana dalam bahaya, kami harus cepat-cepat.
“Jadi maksudmu, kita bawa banyak makanan ke gubuk itu?”, katanya lagi sambil menunjuk atap gubuk, hanya bagian itu yang bisa terlihat dari sini.
“Dasar manusia enggak peka!”, teriakku kesal.
“Hah? Apa-apaan sih, apanya yang enggak peka. Gimana bisa tau kalo kamu ngomongnya juga gak jelas”, bisa kulihat Zarfan mulai kesal karena kata-kataku. Aku jadi menyesal mengatakan hal sebelumnya, ya.. aku memang terburu-buru, Zarfan mungkin gak ngerti maksudku.
“Kita harus cepat-cepat, Zarfan, kayaknya pengendara motor tadi diancam sama orang di belakangnya”, aku mencoba menenangkan suaraku.
“Tau darimana kamu?”, Zarfan masih terlihat kesal
“Pisau, tadi aku lihat jelas ada pisau ditangannya”, ia kelihatan kaget dan bingung, entah dia percaya atau tidak.
POV:Muhammad Zarfan
Pisau? Omong kosong! Ngomong apa tuh si Aini, lama-lama fantasinya makin menjadi-jadi saja.
“Fan, tadi aku lihat jelas ada yang berkilat-kilat di tangannya”, yang berkilat-kilat ditangan? Bodoh, bisa saja itu cahaya matahari yang terpantul dari jam tangan.
“Itu jam tangan Aini, udahlah, ayo pulang!”
“Kamu pikir aku gak bisa bedain jam tangan sama pisau?”, Aini tampak sangat marah,
“Iya”, jawabku ringan. Ia tampak menahan emosinya, Aini pasti sangat ingin mendampratku.
“Kamu pikir aku sebego itu?”
“Aini, obsesimu terlalu besar, lupain deh kisah petualang yang memenuhi rak buku bacamu itu. Ini Bandung, Aini… Bukan di Green Canyon, bukan di Pulau Kirrin! Gak ada aksi kriminal yang akan kita hadapi, itu tugas polisi. Kita ini cuma anak-anak.. enggak kayak anak-anak di buku cerita yang sering kamu baca itu, lagipula itu kan cuma di buku cerita” aku menekankan suaraku di beberapa kata, yaa.. Aini memang sudah harus kuperingati, dia telah berfantasi terlalu jauh.
“Terserah lah, pulang sana !”, Aini berusaha bangkit dan berjalan tertatih-tatih kearah gubuk itu, ya mungkin kali ini dia harus diberi pelajaran saja, tapi kan kakinya masih sakit.
POV:Nuraini Maghfira
Zarfan bego! Seenaknya aja dia bilang aku terlalu terobsesi. Siapa yang terobsesi? Ini kenyataan, dan sebuah kenyataan. Mataku masih bagus untuk bisa membedakan benda, ataupun cahaya. AKU, TIDAK BERFANTASI, ZARFAN!
Yaudah biar aku aja sendirian yang membantu orang itu, pergi aja dia jauh-jauh dan jangan pernah ada dihadapanku lagi. Aku terus menyeret kakiku yang kesakitan, lama-lama aku merasa bahwa sepertinya aku memang membutuhkan Zarfan, hati kecilku terus berkata seperti itu.
Aku pun membalikkan badan, kulihat Zarfan masih terpaku di dekat sepeda, aku berhenti sebentar, mengharapkan kedatangannya. Tapi, dia tetap diam tak kunjung mengikutiku, aku jadi kesal. Sebelum kubalikkan badan dan mencoba berjalan lagi, aku sempat melemparkan pandangan padanya yang menyatakan bahwa aku tidak mau bertemu dengannya lagi. Ya, dengan begitu setidaknya aku puas.Setelah itu kudengar suara roda berputar, Zarfan meninggalkanku. KERJA BAGUS!
Semakin dekat dengan gubuk, semakin ciut nyaliku, tapi sesuai janjiku, aku harus menjunjung tinggi KEADILAN. Ayolah, wanita tidak akan menjilat ludahnya sendiri (nyontek kata-kata dari komik). AKU HARUS BERANI! Aku terus berusaha menyemangati diriku sendiri, dan sekarang aku terpaku didepan pintu gubuk, sunyi. Kucoba buka pintu itu pelan-pelan, tanpa berpikir tentunya.
POV:Muhammad Zarfan
Aini memang keras kepala, gak peduli deh dia mau ngapain lagi, marah-marah terus, padahal kan niatku baik nasehatin dia. Kalo dia emang mau aku pergi yaudah, aku pergi. Liat saja paling juga gak berapa lama aku pergi, dia udah teriak-teriak minta ikut, dia kan penakut ngakunya aja jagoan.
Tapi pegel juga, ngayuh sepeda lambat-lambat begini, Aini juga belum manggil-manggil. Aku coba mengeceknya dengan turun dari sepeda, dan melihat ke belakang, tapi.. nihil. Aini belum terlihat juga batang hidungnya. Kenapa sih dia tak menyusul saja.
Hei, ini udah terlalu jauh dari gubuk tadi, dan Aini belum muncul-muncul. Apa sih kerjaannya di gubuk itu? Apa dia lagi jalan kaki untuk pulang? Sok kuat banget kakinya.
Apa aku balik aja ya? Ah, tapi mana bisa aku muncul tiba-tiba, nanti dia pikir aku ‘khawatir’. Yaudahlah, dia emang keras kepala. Aku lanjut mengayuh sepeda menuju rumah, duh tapi mau bilang apa ya ke mamanya Aini, bikin repot aja.
POV:Cita Zauhari
Sialan benar, gue emang sial hari ini. Ya Ampuun kenapa gue bisa sebegitu lemahnya, dasar pecundang. Tempat apa lagi nih. Aaaah, tali ini juga nyiksa banget, sakit nih tangan gue. Oh, Tuhan! Bantulah aku…..
“Kreeek..”, pintu dibuka. Samar-samar gue liat anak yang buka pintunya, siapa ya dia? Ngapain dia disini? Ah, gak peduli. Siapapun dia, mesti bantuin gue keluar dari sini. Terimakasih, Tuhan!
Dia ngambil sesuatu dari kantongnya, dan waow.. pisau lipat! Canggih juga ini anak. Tali ikatan tangan gue langsung kelepas, huft.. merasa beruntung deh punya tangan. Setelah kaki gue juga bebas, gue teringat sesuatu, dan begitu lirik kanan, waaa.. si orang galak itu ngeliatin, duh begonya. Tapi kok dia diem aja ya? Waduh, merasa gak berharga deh gue, nyekapnya gak niat nih. Yaudahlah, gue sama anak itu langsung jalan ke pintu, ini anak jalannya lama amat, tiba-tiba,
“HEI” wah pasti si bapak galak itu, yah.. ketawan deh, KABUUUUURR!! Gue langung lari ke pintu, keluar dan BEBAS!! Gue lari sejauh-jauhnya dari situ, nyari kendaraan yang bisa bawa gue balik ke rumah secepetnya. Tapi….. kok kayaknya ada yang kurang. wah, adeknya mana? Gawat nih, KETINGGALAN. #BERSAMBUNG POV=Point Of View Pertama, Siapakah Cita Zauhari?
Kedua, Mengapa dia disekap?
Ketiga, apakah anak yang menolongnya itu adalah Aini?
Keempat, jika iya, bagaimana nasibnya Aini?
Pertama, mana kutau -_-
Kedua, apalagi itu
Ketiga, kayaknya sih
Keempat, gatau T-T
Kedua, Mengapa dia disekap?
Ketiga, apakah anak yang menolongnya itu adalah Aini?
Keempat, jika iya, bagaimana nasibnya Aini?
Kelima, udah.. kepanjangan -___- Silakan tunggu kelanjutannya saja
Jawab:Pertama, mana kutau -_-
Kedua, apalagi itu
Ketiga, kayaknya sih
Keempat, gatau T-T
Kelima, PD gilaaa.. siapa yang mau baca :p
Komentar
Posting Komentar